Sejarah Singkat Giri Kedaton Gresik
Para pemimpin tradisional dengan sistem nasional yang mengawasi masyarakat lokal. Ia sebenarnya berhubungan dengan pandangan para pemimpin tradisional terhadap kewenangan kekuasaan luar serta cara mereka memanfaatkan kekuasaan ini agar dapat menghindari pertentangan langsung sementara pada waktu yang sama, mengupayakan pelestarian kedudukan dan kepentingan mereka sendiri dalam masyarakat itu.
Hal penting mengenai legitimasi peran mediator dan kenyataan bahwa setiap mediator dan perantara peradaban ini telah menggambarkan peran kepemimpinan dan otoritasnya dalam susunan sosio kultural yang berbeda dalam masyarakat.
Kedudukan mereka yang berhadapan dengan sistem nasional atau masyarakat lokal serta loyalitas yang hanya bertumpu untuk mengamankan kedudukan mereka menciptakan suatu perbedaan tidak hanya dalam bentuk hubungan dan interaksi antar kelompok saja, tetapi juga dalam bentuk dan proses perubahan sosial peradaban itu sendiri, bahkan keberhasilan usaha-usaha memajukan “perantara peradaban” dengan perubahan nyata diperkirakan disebabkan oleh faktor-faktor penting lain yang ikut berperan dalam mewujudkan perubahan dan modernisasi.
Hal penting mengenai legitimasi peran mediator dan kenyataan bahwa setiap mediator dan perantara peradaban ini telah menggambarkan peran kepemimpinan dan otoritasnya dalam susunan sosio kultural yang berbeda dalam masyarakat.
Kedudukan mereka yang berhadapan dengan sistem nasional atau masyarakat lokal serta loyalitas yang hanya bertumpu untuk mengamankan kedudukan mereka menciptakan suatu perbedaan tidak hanya dalam bentuk hubungan dan interaksi antar kelompok saja, tetapi juga dalam bentuk dan proses perubahan sosial peradaban itu sendiri, bahkan keberhasilan usaha-usaha memajukan “perantara peradaban” dengan perubahan nyata diperkirakan disebabkan oleh faktor-faktor penting lain yang ikut berperan dalam mewujudkan perubahan dan modernisasi.
Syarat ini diperlukan bagi semua pemimpin tradisional ketika tidak ada dukungan dari sistem nasional. Kendati tidak realistik untuk menolak secara total prospek kemunduran para pemimpin tradisional seperti ini ketika masyarakat dengan pesat terintegrasi ke dalam sistem nasional, bagaimanapun hal ini menyimpan suatu pertanyaan bagaimana struktur sosial dan konstruksi peradaban masyarakat tertentu mempengaruhi bentuk dan pranata usaha pemimpin tradisional untuk mengatasi dan mengikuti gerak perubahan. Karena hanya ideologi dan simbol mereka yang cocok untuk masyarakatlah yang dapat digunakan oleh para pemimpin tradisional sebagai alat untuk membangkitkan emosi dan loyalitas yang efektif dari masyarakat tertentu, sehingga dapat membantu proses adaptasi mereka untuk merubah hubungan masyarakat bangsa dan pelestarian sistem sosio-kultural lokal.
Kelihatannya kunci yang paling pokok untuk mengenali dan memahami kelestarian otoritas para ulama’ dan tokoh Islam adalah terletak dalam fungsi dan kedudukan mereka yang berkaitan langsung dengan agama dan umat dan antara pusat peradaban Islam. Ketaatan beragama menghasilkan rasa kebersamaan dan kesatuan masyarakat yang bermoral, yang menghormati otoritas moral sebagai satu-satunya bentuk kepemimpinan yang kuat.
Sebuah pemerintahan Ulama’ dalam suatu kerajaan, seorang pemimpin tidak dapat muncul begitu saja. Kalau tanpa tempat, rakyat dan pengakuan atau dalam istilah ilmiah populernya disebut legitimasi.
Di sebuah pondok pesantren di Ampel. Setelah sang guru membuat keputusan yang cukup matang, maka Sunan Giri dan Sunan bonang (anak Sunan Ampel) keduanya telah sekian lama belajar di pesantren Sunan Ampel. Terus keduanya di suruh sang guru (Sunan Ampel) untuk menuntut ilmu yang lebih mendalam ke Mekkah, akan tetapi keduanya di suruh Sunan Ampel mampir dahulu di negeri Pasai untuk menemui Syech Maulana Ishak dan Maulana Ishak tersebut adalah ayah Sunan Giri.
Di negeri Pasai itulah Sunan Giri dan Sunan Bonang justru tidak di perbolehkan melanjutkan niatnya melanjutkan perjalanan oleh Syech Maulana Ishak. Malah yang terjadi Sunan Giri dan Sunan Bonang melanjutkan studinya di Pasai, belajar kepada Syech Maulana Ishak tentang ilmu-ilmu agama Islam yang lebih mendalam.
Setelah masa studinya dirasa cukup dengan ilmu yang diperoleh dari Maulana Ishak, lantas Maulana Ishak menyuruh keduanya untuk kembali ke pulau Jawa dengan memberikan segenggam tanah dan berpesan untuk supaya mendirikan pesantren yang tanahnya cocok dengan segenggam tanah tersebut kepada Sunan Giri. Ikut serta juga santri syech Maulana Ishak yaitu : Syech Grigis dan Syech Koja. Pesantren yang didirikan itu menjadi sebuah pesantren yang tidak hanya terkenal di Jawa Timur.
Para murid-murid (santri) datang hendak mengaji (studi) pada Sunan Giri, tidak saja berasal dari pulau Jawa, melainkan juga berasal dari kawasan Indonesia timur antara lain : dari pulau tetangga yaitu Madura, pulau Lombok (Nusa Tenggara Barat), Makassar (sulawesi), hitu, halmahera dan ternate (kepulauan Maluku). Memang pada awal berdirinya Giri Kedaton masih murni sebagai pusat pengembangan dan pendalaman ajaran Islam ahlussunnah wal jama’ah di seluruh nusantara. Dengan kata lain Giri Kedaton menjadi sentra pendidikan religius (pusat pesantren).
Akan tetapi proses berdirinya pesantren tersebut tidak segitu gampangnya. Dengan modal niat, keyakinan, serta keinginan kuat untuk berjuang. Sebenarnya awal berdiri pesantren telah dimulai sejak beliau melakukan lawatan studi ke negeri Pasai.
Syech Maulana Ishak adalah seorang ulama’ di Pasai dan Pasai adalah wilayah kerajaan Islam yang tidak bisa di taklukkan oleh kerajaan Majapahit. Maulana Ishak memiliki wawasan dan pengalaman politik yang sangat dibutuhkan oleh Sunan Giri. Maka beberapa bulan lamanya Sunan Giri tinggal di Pasai untuk belajar ilmu siyasah (politik) kepada ayahmya. Salah satu ilmu yang didapat Sunan Giri dari Pasai adalah mencari tempat strategis yang kelak dalam jangka panjang akan menjadi istana kerajaannya.
Sepulang dari Pasai, Sunan Giri langsung menghadap Sunan Ampel, mertuanya. Rupanya ada pembicaraan serius, sehingga beliau tidak menundanya. Pembicaraan tersebut seputar pesan ayahnya untuk mencari tempat yang serupa dengan segenggam tanah yang dibawa dari Pasai. Sunan Ampel memberi do’a restu dan mendukungnya agar pesan itu betul-betul dilaksanakan meski hal itu bukan pekerjaan yang mudah.
Selanjutnya ada semacam proses perjalanan mencari. Sunan Giri mempertaruhkan jiwa dan raganya menyusuri tebing serta mendaki gunung-gunung yang ada di Gresik. Napak tilas itu diawali dari titik historis, dari wilayah pesisir kota hingga ke arah pantai utara (pantura). Lama belum kelihatan hasilnya, tiba-tiba duka menghadangnya. Sunan Ampel wafat, bertepatan dengan tahun 1475 Masehi.
Setelah kepergian Sunan Ampel, pencarian itu masih berlangsung. Sunan Giri mengamati posisi sebuah puncak gunung di bagian paling timur arah selatan kota Gresik. Beberapa hari lamanya ia melakukan ritual di puncak gunung itu. Tak sampai empat puluh hari, beliau harus mengurungkan niatnya. Ibu asuhnya Nyai Ageng Pinatih, sakit keras dan akhirnya meninggal dunia. Kemudian gunung itu disebut gunung Wurung.
Setahun kemudian, napak tilas itu sudah melalui gunung Wurung. Kemudian Sunan Giri mendaki sebuah puncak gunung. Disitu ia membuat musholla (langgar) menyerupai padepokan bersama Syech Grigis dan Syech Koja serta santri-santrinya. Sunan Giri bahkan ikut menukangi pembuatan langgar itu. Lantas gunung tersebut, disebut gunung Petukangan. Di gunung petukangan itu Sunan Giri lebih tekun dan lebih khusyuk beribadah. Bahkan ia seolah-olah telah membuka kehidupan baru (Ihyaul mawal). Namun setahun kemudian Sunan Giri bergeser ke bukit Landai di selatan gunung Petukangan. Beliau bermunajat pada tengah malam di bukit itu dan melakukan tirakatan empat puluh hari.
Pada puncak malam ke empat puluh, dalam sholat tahajud Sunan Giri melihat sorot cahaya berkilau di arah barat. Kemudian Sunan Giri berusaha melacak asal cahaya itu. Ternyata posisi cahaya itu beliau temukan di sebuah puncak diantara gunung Petukangan dan Sumber. Puncak itu adalah Giri Kedaton yang telah lama di impikan. Tanahnya serupa dengan segenggam tanah yang beliau bawa dari negeri Pasai.
Proses pencarian berhasil. Sunan Giri mulai mewujudkan cita-citanya di Giri kedaton. Adapun puncak dimana Sunan Giri melihat cahaya, lalu menduga (mbatang) bahwa cahaya itu adalah ilham atau petunjuk dari Allah SWT (Tuhan), maka puncak itu disebut Gunung Batang.
Giri Kedaton setelah ditemukan Sunan Giri sekitar tahun 1481 Masehi, ternyata memang menjadi tempat penuh berkah. Pertama-tama ia membangun masjid di puncak kedaton. Masjid tersebut sekaligus sebagai sarana pendidikan (pesantren) bagi para santrinya.
Sebelum Sunan Giri menjadi raja, ia merupakan sosok yang berbasiskan massa, yaitu para santrinya yang militan, terdidik dan terlatih. Basis santri ini ada yang berasal dari berbagai pulau di nusantara antara lain, Kalimantan, Sulawesi, Madura, dan Maluku. Sehingga kelak ketika Sunan Giri ketika Sunan Giri mendirikan Kerajaan Giri, maka basis pendukungnya adalah para santrinya yang militan itu, ditambah penduduk Giri dan Gresik yang juga menaruh kepercayaan kepada Sunan Giri.
Setelah Sunan Giri telah memiliki legitimasi publik (rakyat) yang kuat, dukungan dan dorongan dari tiga pembesar Jawa Dwipa itu tidak bisa di tolak oleh Sunan Giri. Maka pada hari senin tanggal 9 Maret 1487 Masehi, Sunan Giri mulai mendeklarasikan berdirinya kerajaan giri. Dalam prosesi itu, di Giri Kedaton, Raden Patah selaku raja Demak memberikan gelar Prabu Satmoto kepada Sunan Giri. Pada kesempatan yang lain, raja Hitu dari kepulauan Maluku membingkiskan gelar raja dari bukit Giri kepada Sunan Giri.
Itulah gambaran proses melinggihkan (duduk, legitimasi elit). Sunan Giri sebagai raja di Giri Kedaton yang dihadiri pula oleh para sunan dan wali di Jawa. Tempat untuk menobatkan Sunan Giri sebagai raja itu di diberi nama pelinggihan (tempat duduk) kedaton. Selanjutnya menjadi singgasana kerajaan Giri. Jadi Sunan Giri berguru di Pasai, merupakan bagian dari silaturrahmi jaringan islamisasi serta untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih luas tentang perpolitikan Islam di Jawa yang ketika itu berhadapan dengan kekuatan Majapahit sebagai penguat ajaran Hinduisme dan Buddhisme.
Namun sekarang ini yang disebut dengan pelinggihan tersebut berbentuk sebuah batu besar, selain itu juga dapat ditemui kolam wudlu pada sisi utara dan selatan, benda-benda tersebut dapat dijumpai di bangunan situs Giri Kedaton yang bertempat di Desa Sidomukti.
Menurut hasil laporan yang berdasarkan data lapangan hasil kegiatan pelestarian dan konservasi situs Giri Kedaton tahap III di Dusun Kedaton, Desa Sidomukti, kecamatan Kebomas, kabupaten Gresik. Untuk sementara disitu ditemukan struktur bangunan lima dinding teras berundak.[24] “Adapun yang di tulis dalam babad Gresik terasnya tertulis ada tujuh berundak”. Menurut pengamatan penulis di lapangan bahwa hiasan pada dinding pada Istana merupakan model bingkai cermin. Untuk pintu utama istana yang di dapati oleh penulis adalah menghadap pada arah timur dan utara, bangunan keseluruhan istana Giri Kedaton tersebut terpengaruh dari bangunan-bangunan pada masa pra Islam, yaitu pada masa Mataram kuno dan Majapahit.
Komentar
Posting Komentar